Ditulis Oleh : M. Wahyu Budiana, A.Md.RO., S.K.M., M.M., Fiacle

IDENTIFIKASI POSISI BOLA MATA

Sebagai bagian dari pemeriksaan pendahuluan refraksi maka pemeriksaan bola mata untuk mengidentifikasi posisinya penting dilakukan agar jalannya pemeriksaan lancar dan posisi bola mata dapat diidentifikasi dengan benar.  Identifikasi posisi bola mata dilakukan untuk menentukan apakah bola mata dalam keadaan lurus atau terdapat penyimpangan, bila terdapat penyimpangan harus dipastikan apakah penyimpangannya bersifat tersembunyi (laten) atau penyimpangannya bersifat nyata (manifest).  Penyimpangan posisi bola mata baik tersembunyi atau nyata dapat mempengaruhi kualitas penglihatan penderita dan harus dilakukan terapi atau koreksi agar tidak mengakibatkan terjadinya gangguan penglihatan binokuler.

1. Identifikasi Posisi Bola Mata Lurus (Ortoforia)

Posisi bolamata yg lurus/garis penglihatan kedua  mata yg sejajar, tanpa disertai adanya kelainan posisi bolamata yg tersembunyi (laten) atau foria.  Keadaan posisi bola mata lurus ini disebut sebagai ortoforia (orto = lurus/sejajar) dimana Garis – garis penglihatan kedua mata dalam keadaan sejajar/ lurus (Ortho) seperti sewaktu mata istirahat fungsional/ tanpa adanya akomodasi dan foria.

Pemeriksaan ortoforia

A. Tes Tutup Buka (Cover-Uncover)/Unilateral Cover Test

  • Tujuannya untuk mengidentifikasi ada tidaknya heteroforia
  • Perhatian pemeriksa ditujukan pd mata yg ada dibelakang penutup/ baru ditutup
  • Pada ortoforia, apabila fusi kedua mata diganggu (menutup salah satu matanya dengan occluder/penutup, atau dipasangkannya suatu filter), maka tidak akan terlihat adanya deviasi

B. Alternating Cover Test

  • Tujuannya untuk mengidentifikasi ada tidaknya heteroforia
  • Perhatian pemeriksa ditujukan pd mata yang tidak ditutup/terbuka
  • Pada ortoforia, apabila fusi kedua mata diganggu (menutup salah satu matanya dengan occluder/penutup, atau dipasangkannya suatu filter), maka tidak akan terlihat adanya deviasi

2. Identifikasi Posisi Bola Mata Menyimpang

A. Laten (Heteroforia)

Adalah keadaan penyimpangan posisi bolamata yang sifatnya tersembunyi (laten) yang disebabkan  oleh adanya gangguan keseimbangan otot-otot bolamata, dimana hal ini mengakibatkan  mata cenderung untuk menyimpang/ menjadi juling, akan tetapi tidak terlihat langsung Phoria merupakan kelainan posisi Bolamata yang sifatnya Laten (tersembunyi), sewaktu mata dalam posisi istirahat Fisiologis/ memandang ketempat yang jauh, dimana sumbu penglihatan kedua mata dalam keadaan sejajar/ sedikit divergent (dalam posisi Phoria). Karena adanya Stimulus Tonic Convergence, keadaan tersebut semakin kurang divergen. Setidak-tidaknya hampir setiap orang dalam keadaan Strabismus, walau bersifat laten.  Kedua mata yang lurus sempurna kedepan (Ortho), seperti sewaktu mata istirahat fungsional/ tanpa adanya pengaruh Akomodasi, dan tidak membutuhkan daya perkisaran Fusi untuk meluruskan dan men-searahkan kedua mata, yang dalam hal ini disebut mata yang  “Orthophorik”

B. Manifest (Heterotropia)

Merupakan penyimpangan posisi bola mata yang terlihat langsung pada saat kedua mata dalam keadaan terbuka, keadaan ini disebut juga sebagai juling atau mata juling  yang dalam istilah medis dikenal dengan istilah strabismus. Kondisi ini terjadi akibat adanya gangguan koordinasi pada otot penggerak bola mata. Gangguan tersebut dapat membuat satu mata melihat ke arah depan, sedangkan satu mata lainnya melihat ke atas, bawah, atau samping Posisi mata yang tidak sejajar menyebabkan kedua mata tidak mampu fokus ketika melihat objek yang sama. Jika tidak ditangani, mata yang juling dapat menimbulkan sejumlah komplikasi, salah satunya adalah kebutaan.

Sumber Pustaka :

  1. American Academy Of Ophthlamology (2011), Refractive Surgery Section 13 2011 – 2012 , San Fransisco : American Academy Of Ophthalmology.
  2. AK Khurana (2007), Comprehensive Ophthalmology Fourth Edition, New Delhi : New Age International (P) Publishers.
  3. Bikas Bhattatcharyya (2009), Visual Science and Clinical Optometry, New Delhi : Jaypee Brother Medical Publishers.
  4. William J. Benyamin (2006), Borish’s Clinical Refraction Second Edition, St. Louis : Butterworth – Heinemann.