Oleh : Ferry Doringin, S.Fil., M.Hum., Ph.D.

Sejarah mengenai pendidikan vokasi adalah berbicara mengenai skill SDM Indonesia untuk memasuki dunia kerja. Lintasan sejarah ini menegaskan bahwa pendidikan vokasi di Indonesia masih dianggap pendidikan nomor dua, dengan lulusan dengan kompetensi terbatas, dan tingkat penerimaan di dunia kerja masih terbatas. Padahal, dulunya, vokasi ini sangat membanggakan dengan tingkat kompetensi lulusan yang sangat tinggi dan daya serap ke dunia kerja sangat baik.
Sejarah Pendidikan Vokasi di Indonesia dimulai sejak kebijakan Politik Etis dari pemerintah Belanda yang membuka kesempatan kepada kaum muda Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Suharno et al.. (2020) mencatat bahwa sejak jaman Politik Etis sampai dengan Kedatangan Jepang (Zaman Penjajahan Belanda), arah pendidikan vokasi diarahkan untuk mendukung kepentingan penjajah. Refleksi bagus yang bisa disebutkan bahwa Pendidikan Vokasi menghasilkan tenaga lulusan yang berkualitas dengan guru-guru yang sangat baik, dan bisa menjawab kebutuhan industri. Ketika ada kolaborasi yang kuat antara lembaga pendidikan dan industri, maka lulusannya sangat berkualitas dan menjawab kebutuhan industri (Suharno et al., 2020).
Ketika Jepang menjajah Indonesia, fokus pada Pendidikan Vokasi menjadi berubah, yakni pada ketrampilan perempuan, sekolah teknik, dan pertanian. Bahasa Pengantar pendidikan harus Bahasa Jepang. Sistem pendidikan yang sudah terbangun diganti. Suharno et al.. (2020) mencatat bahwa Pendidikan Vokasi menjadi kolaps. Refleksi yang baik pada zaman ini adalah tanpa sistem yang baik serta pengajar yang mumpuni, proses pendidikan menjadi lemah (Suharno et al., 2020).
Pada Zaman Kemerdekaan sampai dengan Reformasi, masalah Pendidikan Vokasi yang berlangsung pada zaman Pendudukan Jepang masih belum bisa diatasi. Pendidikan vokasi terlanjur menjadi pendidikan yang kurang diperhatikan, dengan kualitas guru dan fasilitas yang tidak memadai, dan sistem yang tidak berjalan baik.
Sesudah reformasi konsep pendidikan di Indonesia diubah total oleh pemerintah dengan menargetkan bahwa secara jumlah lembaga pendidikan vokasi harus mencapai 70%: 30% dari pendidikan umum. Angka ini merupakan pembalikan angka sebelumnya, yakni Pendidikan Vokasi hanya mencapai 30%:70% pendidikan umum. Menurut Suharno et al.. (2020), pembalikan itu merupakan penerapan dari Finlay theory yang menyatakan bahwa kota dimana populasi siswa pendidikan vokasi lebih besar maka perkembangan ekonomi dan produk domestik regional akan besar. Lebih dari itu, fakta menyebutkan bahwa lulusan Sekolah Umum yang tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan ingin langsung memasuki dunia kerja cukup tinggi (Suharno et al., 2020).
Dalam rancangan pendidikan yang baru tersebut, pemerintah menetapkan target prosentasi pada tahun 2009 mencapai 60% umum: 40% vokasi; tahun 2015, aangkanya menjadi 50:50; tahun 2020, angkanya menjadi 40% umum: 10% vokasi; dan target tahun 2025 adalah 30%:70%. Target lembaga Pendidikan Vokasi mencapai 70% terjadi pada tahun 2025. Titik terang dan harapan untuk itu mulai terlihat ketika data tahun 2019 menyebut bahwa perbandingan Pendidikan Umum terhadap Pendidikan Vokasi sebesar 49.2:50.8 (Suharno et al., 2020).
Meskipun demikian, Scwab (2016) dalam Suharno et al. (2020) menyebutkan bahwa tingkat kompetisi lulusan vokasi Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN hanya 35% dan secara global hanya 10%. Dengan demikian, pekerjaan rumah untuk pengembangan vokasi masih besar (Suharno et al., 2020).
Suharno et al.. (2020) menyebut mengenai delapan hal yang harus dibenahi (Suharno et al., 2020):
a. Pengembangan Pendidikan Vokasi yang tidak terkontrol: tanpa studi mendalam mengenai pendirian dan pemilihan jurusan. Suharno et al.. (2020) menyebut bahwa jurusan otomotif sangat banyak dibuka dan akhirnya kelebihan lulusan dan tidak terserap di dunia kerja. Padahal kebutuhan untuk sektor maritim, energi terbarukan, turisme, dan industri kreatif tidak terisi untuk menggambarkan bahwa jurusan itu kurang tersedia.
b. Ketersediaan guru dalam jumlah dan kompetensi. Guru yang pensiun tidak digantikan. Guru yang kompeten tidak tersedia.
c. Sejumlah program tertentu tidak tersedia di Pendidikan Tinggi yang berakibat pada tersedianya pengajar untuk bidang itu. Kompetensi yang tidak tersedia pada PT, antara lain: pengelas, teknologi terbarukan, penangkap ikan.
d. Fasilitas dan infrastruktur tidak cukup.
e. Pembelajaran: kurikulum tidak demand-driven. Industri berubah dan berkembang cepat namun kurikulum dan pembelajaran tidak bisa mengikuti perubahan itu.
f. Biaya tinggi namun hasil belum sesuai harapan.
g. Manajemen terbatas (Kepala Sekolah tidak mumpuni dari segi visi dan perencanaan).
h. Keterlibatan industri sangat terbatas.

Suharno et al.. (2020) menyebut sejumlah perbaikan yang harus dilakukan agar kebutuhan Pendidikan Vokasi bisa menjawab kebutuhan (Suharno et al., 2020), yakni:
a. Link and match antar SMK dan industri. Harus ada komunikasi, harus ada praktik agar siswa memperoleh pengalaman.
b. Kurikulum dan pembelajaran sekolah harus sejalan dengan LPTK untuk mendapatkan kualitas guru yang baik.
c. Guru berkualitas harus tersedia: pemerintah harus menganggarkan dan universitas harus memiliki prodi terkait jurusan tertentu.
d. Industri harus didorong untuk terlibat dalam pengembangan pendidikan vokasi. Ada kesan bahwa industri di Indonesia hanya menuntut ketersediaan tenaga terampil, tetapi tidak berkontribusi untuk mewujudkannya (AA menyebutkan perlu adanya sanksi kalau industri tidak berkontribusi pada pengembangan sekolah kejuruan).

Leave a Reply