Ditulis Oleh : Kadaryati, A.Md.R.O., S.Pd., M.Kes.

Kelainan refraksi merupakan salah satu penyebab terbanyak gangguan penglihatan di seluruh dunia dan menjadi penyebab kebutaan kedua yang dapat diatasi. Kelainan refraksi banyak menimbulkan komplikasi, salah satunya adalah glaukoma. Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua di dunia setelah katarak. Kelainan refraksi yaitu suatu keadaan dimana sinar-sinar sejajar dari jarak tak terhingga dibiaskan tidak tepat di retina. Kelainan refraksi yang menyebabkan glaukoma yaitu myopia dan hipermetropia. Glaukoma yang terjadi akibat dari kelainan refraksi berhubungan dengan anatomi dari bola mata di mana pada myopia dengan bertambahnya panjang sumbu bola mata menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli. Demikian juga dengan hipermetropia, faktor predisposisi anatomi menjadi penyebab terjadinya glaukoma cenderung berpengaruh dalam hal ini, yaitu: balik mata depan yang dangkal, sumbu bola mata yang pendek dan sempitnya sudut bilik mata depan. Tetapi penyebab pasti kelainan refraksi menyebabkan glaukoma saat ini masih kontroversi.

Glaukoma merupakan kelainan mata yang menyebabkan fungsi penglihatan mata berkurang ditandai dengan terjadinya kerusakan struktur anatomi berupa atrofi papil saraf optik, cupping diskus optikus, serta pengecilan lapang pandang yang progresif dan bisa menyebabkan kebutaan (Ilyas dan Yulianti, 2017). Glaukoma dapat menurunkan penglihatan secara progresif dan permanen, serta merupakan penyebab kebutaan kedua terbesar setelah katarak. Glaukoma primer sudut terbuka adalah neuropati optik progresif kronis dengan sudut bilik anterior mata yang tampak normal dan terbuka serta adanya peningkatan tekanan intra okular dan cupping diskus optikus, tanpa penyakit lain yang mendasari (Bhartiya and Ichhpujani, 2017). Penyebab glaukoma primer sudut terbuka belum diketahui pasti tetapi banyak faktor klinis yang memengaruhi kerentanan individu terhadap glaukoma primer sudut terbuka, yang merupakan proses penyakit multifaktorial. Hal ini termasuk usia lanjut dan riwayat hipertensi yang mekanismenya bisa meningkatkan sekresi akuos humor dan meningkatkan risiko peningkatan tekanan intra okular. Peningkatan tersebut bisa menyebabkan cupping diskus optikus dan menyebabkan gangguan lapang pandang.

Riwayat keluarga glaukoma, kelainan refraksi serta penyakit sistemik seperti diabetes mellitus juga bisa meningkatkan risiko terjadinya glaukoma (American Academy of Ophthalmology, 2020). Penderita glaukoma primer sudut terbuka pada awalnya tidak merasakan gejala, namun tetap terjadi kerusakan saraf yang progresif secara perlahan dan jika tidak diberikan pengobatan segera, maka akan timbul kerusakan saraf optik yang menyebabkan kebutaan (Ilyas dan Yulianti, 2017). Jakarta Urban Eye Health Study tahun 2008, prevalensi glaukoma secara keseluruhan yaitu 2,53% dengan prevalensi glaukoma primer sudut terbuka yaitu dengan persentase 0,48% (Kemenkes, 2015).

World Health Organization (WHO), sekitar 2,2 miliar orang di dunia mempunyai gangguan penglihatan yang diantaranya sebanyak 1 miliar orang dengan gangguan penglihatan yang belum ditangani. Salah satu penyebab gangguan penglihatan yaitu glaukoma dengan prevalensi 10,9% atau sebanyak 6,9 juta orang (WHO, 2019). Hasil Riskesdas tahun 2019, penderita glaukoma paling banyak terdapat di regional Asia Selatan dan Asia Timur. Prevalensi penderita glaukoma mengalami peningkatan dari tahun 2015 sampai 2017. Kasus baru di Indonesia tahun 2017 pada penderita glaukoma rawat jalan dan rawat inap sebanyak 86.589 kasus dengan jumlah pasien glaukoma rawat jalan 80.548 kasus dan jumlah pasien glaukoma rawat inap 6.041 kasus. Mayoritas penderita glaukoma berjenis kelamin wanita dan kelompok umur terbanyak yaitu 44-46 tahun (Kemenkes, 2019).

Glaukoma merupakan kumpulan dari suatu penyakit yang secara karakteristik dapat menimbulkan optik neuropati dengan ditemukannya penurunan lapangan pandang yang penyebab faktor utamanya yaitu peningkatan TIO. Umumnya normal TIO rata-rata berkisar 10-22 mmHg. Ada tiga faktor yang menentukan tekanan intraokuli, yaitu: keseimbangan antara jumlah produksi akuos humor pada sudut oleh badan siliar; resistensi dari pengaliran akuos humor pada sudut bilik mata dengan menuju sistem jalinan trabekular-kanal schlemm; dan tekanan vena-vena episklera. Faktor-faktor yang menentukan tekanan intraokuli: usia, variasi diurnal, ras, genetik, dan kelainan refraksi (American Academy of Opthalmology, 2006).

Adanya hubungan antara miopia tinggi dengan peninggian tekanan intraokuli, dimana dengan bertambahnya panjang sumbu bola mata dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intraokuli. Beberapa teori menjelaskan bagaimana tekanan intraokuli dapat menjadi salah satu faktor awal glaucomatous damage. Teori terjadinya glaukoma belum diketahui dengan pasti, tetapi ada dua teori diantaranya: teori mekanis, dimana terjadinya penekanan dari axon nervus optikus; dan teori iskemik, dimana terjadinya disfungsi dari pembuluh darah yang menyebabkan iskemi dari serabut saraf (American Academy of Opthalmology, 2006).

Kelainan refraksi yang dimaksud di sini adalah myopia dan hipermetropia. Myopia berhubungan dengan Primary Open Angle Glaucoma (POAG), dan Pigmentary Glaucoma (Kansky JJ, 2003). Myopia telah dilaporkan berhubungan dengan peningkatan TIO dan POAG. Myopia juga rentan terhadap terjadinya kerusakan glaucomatous. Suatu penelitian dari 2403 subjek dilaporkan punya hubungan signifikan antara myopia dan peningkatan TIO, terutama pada orang asli Afrika Utara dan Asia. Studi lain melaporkan subjek-subjek myopia meliputi anak-anak atau pada orang-orang yang panjang sumbu bola matanya terlalu panjang. Dijumpai 4,2% POAG pada pasien myopia ringan dan 4,4% POAG pada pasien myopia sedang-berat. Menurut Blue Moutain Eye Study dijumpai hubungan yang erat antara glaukoma dengan myopia pada populasi kulit putih dan usia lebih tua. Pasien dengan myopia memiliki 2-3x peningkatan risiko glaukoma dibandingkan non myopia. Telah dijelaskan bahwa beberapa mekanisme mengenai hubungan antara myopia dan glaukoma. Pasien-pasien dengan myopia cenderung memiliki diskus optikus yang lebih besar dan sering dibingungkan dengan bentuk diskus optikus pasien glaukoma. Nervus optikus pada pasien myopia secara struktural lebih peka terhadap kerusakan glaukomatous akibat peningkatan TIO dibanding mata normal.

Hypermetropia memiliki risiko tinggi untuk terjadinya Primary Angle Close Glaucoma (PACG) dan umumnya memiliki optic disc yang lebih kecil. PACG didefinisikan sebagai aposisi dari iris perifer terhadap trabekular meshwork dan mengakibatkan penurunan aliran akuos humour melalui sudut bilik mata depan. Pada PACG tidak ada patologi yang mendasari, hanya kecenderungan anatomi. Faktor predisposisi anatomi, yaitu: lokasi anterior diafragma iris-lensa skunder terhadap pendeknya panjang sumbu bola mata; sudut balik mata depan dangkal; sempitnya sudut bilik mata depan.

Leave a Reply