Ditulis Oleh : Murni Marlina Simarmata, S.S., M.Pd

Disrupsi besar-besaran yang disebabkan perkembangan pesat teknologi informasi dan dipercepat oleh pandemi Covid-19 mendorong Kemendikbud mendesain kurikulum baru. Karena masih berupa rintisan (belum diterapkan secara nasional), disebut kurikulum prototipe. Sejauh ini sudah ada 2500 sekolah yang mencoba menerapkan kurikulum rintisan tersebut (Koran Tempo, 25 Desember 2021).

Sekalipun didesain untuk TK hingga SMU, perguruan tinggi perlu menimba semangat yang dibawa kurikulum tersebut agar para peserta didik lebih siap menghadapi perubahan-perubahan besar (disrupsi) yang terus terjadi di tengah masyarakat. Semangat dasar dari kurikulum prototipe adalah “merdeka belajar”. Dalam prakteknya, semangat tersebut dijalankan dengan menyesuaikan fokus pembelajaran pada minat dan bakat peserta didik serta tingkat kemampuan peserta dididik menyerap pembelajaran. Dengan kata  lain, kurikulum prototipe merupakan upaya untuk membuat kegiatan belajar bukan sebagai beban bagi peserta didik.

Di perguruan tinggi kejuruan seperti ARO GAPOPIN, upaya mengenali minat dan bakat mahasiswa tentu lebih mudah karena bisa kita andaikan semua mahasiswa berminat dan memiliki bakat di bidang optik dan perawatan mata sehingga  memilih jurusan tersebut. Dengan demikian tantangan terbesar bukan lagi pada identifikasi minat dan bakat, tetapi pada upaya menjadikan kegiatan perkuliahan sebagai kegiatan yang menarik, bukan beban bagi mahasiswa. Dalam kaitan ini, penulis mengajukan 2 poin penting yang menjadi pertimbangan.

ilustrasi kegiatan perkuliahan

Pertama, metode pengajaran. Dewasa ini semakin disadari bahwa metode pengajaran satu arah tidak lagi relevan untuk menghasilkan generasi-generasi kritis, inovatif dan berkarakter karena peserta didik diposisikan pasif (hanya menerima materi dan penjelasan) dari pengajar yang terpaku pada teks dan target-target pengajaran. Proses pembelajaran interaktif mesti lebih digalakkan. Memang dalam mata kuliah yang sangat teknis seperti di bidang Optik dan kesehatan mata, jauh lebih sulit menerapkan pembelajaran interaktif. Persoalan ini mungkin bisa diatasi dengan memperbanyak kegiatan praktikum dan mendorong mahasiswa memaksimalkan teknologi informasi untuk mencari isu-isu terbaru yang berkaitan dengan mata kuliah, kemudian mendiskusikannya di ruang kuliah.

Kedua, membuat kampus menjadi arena interaksi sosial, bukan hanya wilayah akademik dan ilmiah. Untuk menciptakan sistuasi seperti itu, mahasiswa mesti merasa bebas dan merdeka untuk bermain di kampus, berdikusi dengan dosen dan sesama mahasiswa baik tentang persoalan-persoalan di tempat kerja maupun di dalam kehidupan pribadi, diskusi tentang isu-isu terbaru dan berbagai kegiatan lain yang bisa membuat mahasiswa betah dan merasakan kampus sebagai rumah mereka sendiri. Dalam suasana seperti inilah mahasiswa dapat menikmati semangat “merdeka belajar”.

Dua poin penting tesebut memang tidak mudah untuk diwujudkan, tapi layak untuk diperjuangkan bersama demi kemajuan bersama.