Ditulis Oleh: Murni Marlina Simarmata, S.S., M.Pd.

Belajar daring (online) selama masa pandemi Covid-19 bisa menjadi kegiatan yang membosankan sekaligus menarik bagi anak-anak sekolah. Hampir setiap hari anak-anak harus melakoni kegiatan belajar dengan pola yang sama dari rumah selama lebih 1 tahun sehingga merindukan situasi belajar tatap muka di sekolah di mana guru dapat menerapkan berbagai metode belajar, ada kesempatan bermain dengan teman-teman sebaya, kesempatan berinteraksi dengan lebih banyak orang dan berbagai situasi sekolah yang mungkin kini dirindukan anak-anak.

Hal menarik bagi anak-anak dalam kegiatan belajar daring adalah pemakaian gadget yang lebih bebas. Jika sebelumnya orang tua membatasi secara ketat pemakaian gadget, di masa pembelajaran oline barangkali lebih bebas. Sebagai kompensasi dari situasi monoton dan membosankan di rumah, banyak anak-anak menggunakan gadget tidak hanya untuk belajar tetapi juga untuk berinteraksi dengan teman-teman mereka, bermain game atau kegiatan-kegiatan menarik lain melalui gadget yang dimaksudkan mengusir rasa bosan. Orang tua bisa saja semakin permisif (memberi ijin pemakaian gadget lebih lama) dengan alasan agar anak-anak betah tinggal di rumah demi menghindari Covid-19. Dalam kondisi ini, ancaman kesehatan mata semakin besar. Anak-anak yang terpapar sinar gadget lebih masif memiliki resiko lebih besar terhadap ancaman kelainan refraksi.

Kelainan refraksi adalah istilah teknis dalam ilmu kesehatan mata yang merujuk pada kondisi di mana cahaya yang masuk ke dalam mata tidak dapat difokuskan secara tepat di retina. Akibatnya, penglihatan jadi buram atau berbayang. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kelainan refraksi adalah paparan sinar ke mata secara intens baik sinar matahari maupun sinar dari perangkat-perangkat digital. Beberapa gejala terjadinya kelainan refraksi adalah penglihatan kabur atau berbayang, melihat adanya lingkaran cahaya di sekitar lampu terang, sulit fokus saat membaca buku atau teks digital, sering menyipitkan mata saat melihat, sakit kepala, kepala terasa tegang.

Ancaman Masa Depan dan Peran Negara

Menurut laporan yang dirilis WHO (World Health Organization) tahun 2006 terdapat 253 juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Dari jumlah tersebut, 13 juta adalah anak-anak sekolah dengan usia 6-15 tahun dengan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara (mencakup Indonesia). Angka tersebut pasti jauh lebih tinggi jika dihitung seluruh anak-anak yang mengalami kelainan refraksi (termasuk yang sudah dikoreksi atau diatasi baik dengan kaca mata, operasi atau pengobatan). Secara logis, angka tersebut akan jauh lebih tinggi lagi kalau survei dilakukan lagi sekarang dengan tren penggunaan gadget oleh anak semakin tinggi dibanding tahun 2006.

Menurut Handriani (2016) di Indonesia resiko kelainan refraksi bagi anak-anak dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas semakin besar dalam hubungan dengan penggunaan teknologi digital. 10 % dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) mengalami kelainan refraksi. Persentase itu bisa jadi meningkat tajam di masa pandemi sekarang karena produk teknologi dalam bentuk gadget telah menjadi kebutuhan anak-anak (termasuk dari golongan ekonomi menengah ke bawah) dalam rangka menyukseskan program belajar daring.

Kelainan refraksi pada anak dapat mengancam masa depan terutama jika tidak dilakukan koreksi sedini mungkin. Gangguan penglihatan akan mempengaruhi kenyamanan anak saat belajar dan tentu akan berdampak buruk pada peningkatan intelektual anak. Jika dilihat dari perspektif pembangunan bangsa, ancaman kelainan refraksi pada anak-anak sekolah adalah ancaman pada masa depan bangsa. Karena itu, upaya penanggunalangan kelainan refraksi tidak hanya tanggungjawab orang tua, tetapi juga tanggungjawab negara.

Negara dapat berperan dengan mempromosikan kesehatan mata terutama di masa belajar daring sekarang ini atau memberikan pendampingan atau penyuluhan kepada orang tua tentang manajemen belajar online yang tepat dari sisi kesehatan mata. Pada taraf penanggulangan (penanganan kasus yang sudah terjadi) negara dapat berperan dengan menyediakan kaca mata murah atau subsidi lensa koreksi bagi anak-anak yang mengalami kelainan refraksi.

Leave a Reply